Minggu, 08 Februari 2009

Cerpen tuk Palestina...


BATU-BATU PERJUANGAN

“Bantulah kami, meski hanya dengan potongan batu”

Kutuliskan permohonan itu di sisi dinding yang runtuh ditabrak oleh roket Israel. Sisi dinding ini dulu adalah rumahku. Pasukan Zionis itu telah meluluhlantakkan rumahku juga rumah-rumah tetanggaku. Benar-benar biadab yahudi itu! mereka telah membunuh dan menyiksa saudara-saudaraku dan orang-orang yang aku cintai termasuk Abi dan Umiku.

Ingatanku melayang pada malam sekitar 21 hari yang lalu. Setetes air tiba-tiba bergulir di pipiku. Hari dimana peristiwa yang sangat menyedihkan bagiku terjadi. Ketika itu keluargaku berkumpul bersama di rumah ini. Walau malam telah larut, senandung ayat Al Qur’an dan dzikir tetap menggema di rumah ini. Aku terus mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Sementara adikku, Fathimah tidur dalam pangkuanku. Umi sedang menggendong Raihan, si bungsu sambil terus berusaha membuat Raihan tidur. Sementara di ruangan lainnya, kudengar Abi terus berdzikir dan mengucapkan shalawat Nabi.

Aku berhenti sejenak, kulihat Raihan yang sudah mulai tidur. Aku tersenyum bahagia melihat Raihan, wajahnya lugu, tak berdosa. Umi juga tersenyum kepadaku.

“Amir, kalau sudah mengantuk, tidur saja.” Kata Abi lembut kepadaku. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Abi tadi. Aku belum ingin tidur, rasanya ada yang mengganjal hatiku dan menyuruhnya untuk tidak tidur. Malam semakin larut, Abi dan Umi sudah terlelap tidur. Hanya Aku yang masih terjaga.

Tiba-tiba dari kejauhan kudengar keriuhan. Suara senapan. Pistol. Dentuman. Suara ledakan. Gemuruh menggema suara teriakan.

“Serang!”

“Tembak!”

“Bunuh!”

“Bakar!”

Aku merinding mendengarnya. Kualihkan Fathimah dari pangkuanku, anak umur 7 tahun ini terlihat masih pulas tidur tak merasakan apa yang terjadi di luar sana. Aku mengintip dari jendela rumahku. Hiruk pikuk terjadi di luar sana. Semua berlari menyelamatkan diri. Banyak yang telah tertembak dan terkapar. Terdengar ratapan, tangisan, jeritan yang menyayat hati. Para lelaki mencoba melakukan dengan senjata seadanya, bahkan dengan batu sekalipun. Darah terus mengalir membentuk genangan. Pekat. Merah. Terlihat dimana-mana.

Semua orang di rumahku terjaga dari tidurnya. Mereka mendengar keriuhan di luar sana. Abi berjaga di depan pintu mencoba melindungi kami di sini. Umi dengan segera menggendong Raihan dan Fathimah memeluk Umi erat-erat. Wajahnya terlihat ketakutan mendengar suara-suara di luar rumah.

Kudengar suara pasukan Israel semakin mendekat. Hatiku semakin tegang campur aduk tak karuan.

“BRAAK!!!”

Pintu kayu rumah hancur berantakan diterjang mortir. Abi terpental. Kepala Abi remuk terkena pecahan mortir. Abi mati syahid.

“Nak, TOOOLOONG!” teriak Umi ketakutan.

“Umiiiiiiii!”
DOR! DOR! DOR!

Perempuan itu tersungkur di ranjang anaknya, dengan kepala tertembus timah panas. Umi syahid. Raihan yang ada dalam gendongannya ikut terkena timah panas itu. Anak umur dua tahun itu mati syahid.

“Fathimaah!”

Fathimah dengan sekuat tenaga terus melawan. Pasukan yahudi itu terus memukulnya, menarik-narik jilbabnya. Menendangnya hingga tersungkur ke tanah. CRESH! Leher anak itu tergores pisau. Fathimah terjatuh menahan perihnya goresan pisau itu. perlahan-lahan nafasnya mulai terputus-putus sampai akhirnya Dia syahid.

Aku terbelalak! Ternganga! Terpaku! Tak bergerak melihat semua ini. Tubuhku masih kaku tak bisa berbuat apa-apa. Dadaku naik turun, detak jantungku seakan berkejar-kejaran. Jiwaku terasa dihantam palu raksasa berkali-kali. Tapi tak ada setetes air mata pun yang menetes hanya batinku yang merintih. Aku melihat semua! Aku melihat semua anggota keluargaku dibantai oleh yahudi laknatullah

Tiba-tiba tangan-tangan jahanam itu menyeretku. Mendorong tubuhku, memukul-mukul kepalaku dan tubuhku. Aku mencoba melindungi diriku dan mencoba melawannya. Aku menendang, mencakar, meludahi Yahudi jahanam itu! kulempar semua barang yang ada di sekitarku ke hadapan mereka. Hup, Alhamdulillah aku berhasil merampas sebuah senjata! Meski aku terdesak, dengan seluruh tenaga aku menumpahkan isi senjata ke arah empat tentara Israel itu. Mereka terlihat tak kuasa menahan seranganku. Lalu dengan sekuat tenaga aku berlari meninggalkan rumahku. Napasku tersengal-sengal kadang tersandung tubuh-tubuh manusia yang terbujur kaku di tengah jalan.

Tiba-tiba melintas sebuah pesawat Israel, membawa roket-roket yang dijatuhkan di pemukiman warga. Tziuuu….BOOOM!!! Aku melihat pesawat itu menjatuhkan roketnya tepat di atas rumahku. Dalam hitungan detik rumahku luluh lantak tak berbentuk dan kobaran api merajalela menjalar seketika.

Alhamdulillah aku selamat. ALLAH MAHA KUASA!!!

“Assalamu’alaikum ya Amir, ada apa denganmu?” kata Ismail membuyarkan lamunanku. Aku lalu mengusap air mata yang tadi sempat meleleh di pipiku.

“Wa’alaikumsalam. Tidak, aku tak papa. Aku hanya ingat dengan keluargaku.”

“Tenanglah, Allah pasti akan memberikan surga kepada mereka. Kamu harus yakin dengan itu.” Dia lalu menatap wajahku dalam-dalam seakan memberikan isyarat bahwa aku harus percaya dengan perkataannya.

Aku lalu mengangguk, “Iya, aku percaya itu dan sekarang aku harus terus berjuang mempertahankan tanah ini.”

“Ya. Allah berfirman dalam Al Qur’an. Orang yahudi tak akan rela sampai kita mengikuti mereka. Maka dari itu kita harus terus berjuang. Menegakkan dien Allah dan mempertahankan tanah ini.” Katanya menambahi ucapanku.

“Sekarang mari kita shalat jum’at. Kulihat matahari sudah berada di atas kepala kita.” katanya mengajakku. Aku lalu mengangguk lalu mengikuti langkah-langkahnya menuju satu-satunya masjid yang masih tersisa di kampungku, kampung Zaitun yang memang terletak di Gaza.

Nasib Ismail hampir sama sepertiku. Keluarganya juga syahid di tangan yahudi-yahudi itu tetapi dia masih mempunyai seorang kakak laki-laki. Di usianya yang sama denganku, 12 tahun, Dia bisa membangkitkan ghirah kami, anak-anak sebayanya untuk terus selalu bertahan dan berjuang melawan yahudi laknatullah itu. Dia termasuk anak yang cerdas, dia sudah hafidz Al Qur’an pada usia tujuh tahun dan setahun kemudian aku bisa menyusulnya.

Selesai shalat jum’at, Aku melintasi serambi masjid bersama Ismail. Tak sengaja mataku memandang ke arah halaman masjid ini. Kulihat batu-batu berserakan di mana-mana. Aku lalu berhenti berjalan, terasa ada ide di kepalaku.

“Wahai Ismail, bagaimana kalau kita mengumpulkan batu-batu yang berserakan itu?”

“Ahh Iya. Itu akan jadi senjata kita untuk melawan yahudi itu. ” Wajah Ismail berbinar-binar ketika mengucapkannya. Aku dan Ismail lalu berusaha mengumpulkan batu sebanyak-banyaknya. Kumasukkan batu itu ke dalam saku celana, saku baju dan kukumpulkan dalam sorban yang dibelikan Abi untukku.

oooOooo

DUAAR!!! Sebuah tembakan menghancurkan dinding sisa rumah tempat aku dan Ismail berlindung. Memecah keheningan malam yang dingin di kampungku. Lebih dari sepuluh tentara Israel bersenjata lengkap mendekati kami dari berbagai penjuru. Kami terkepung.

Aku tak gentar sedikit pun menghadapi mereka. Semangatku memuncak. Aku tak boleh berdiam diri dan terpaku. Ini tanah Palestina kita, yahudi atau siapapun boleh tinggal di sini tapi tidak untuk merampasnya!! Aku menggengam batu yang telah kukumpulkan tadi.

“Allaaaahu Akbar!” teriakku sambil melemparkan batu ke arah yahudi-yahudi itu. Ismail juga turut melemparkan batu-batu itu. Yahudi-yahudi itu membalasnya dengan timah panas. Dimana keadilan itu?!!!

Aku bergulingan menghidari timah panas yang mengarah kepadaku. Beberapa timah panas mengenai kepala Ismail. Dia jatuh tersungkur. Napasnya terputus-putus. Mulutnya terus mengucap kata Laa ilahailallahu. Tapi lama kelamaan suaranya mulai pelan dan sampai akhirnya tak terdengar sama sekali. Ismail syahid.

Dadaku bergemuruh. Batinku linu melihat semua ini. Aku melempar berkali-kali batu yang kupunyai. Sekedar untuk menahan timah panas yang ditumpahkan yahudi lakanatullah itu. Tentara Israel masih beringas melawanku. Dari muka mereka mengucur darah terkena batu yang kulempar. Aku melempar dan terus melempar. Tapi… batu-batu itu telah habis. Tak ada senjata di tangan.

Seorang yahudi tersenyum sinis penuh kemenangan kepadaku. Aku tak gentar dan tak akan mundur menghadapi yahudi itu. Sebuah senapan mengarah ke kepalaku.

DHUAR!!! Tubuhku jatuh ke bumi. Lalu berondongan tembakan mengenai seluruh tubuhku. Darah mengalir bercucuran makin lama makin deras. La ilahailallahu…la ilahailallahu…kataku berkali-kali. Aku tersenyum bahagia. Aku akan bertemu dengan Allah, Rosul dan menyusul keluargaku. Kulihat sinar yang terang benderang berada tepat di depan mataku.

ALLAHU AKBAR!!!

Solo, 21 Januari 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu...