Shalat lima waktu? Sudah jarang di masjid, milih ayatnya yang pendek-pendek pula. Tanpa doa dan segala macam puji untuk ALLAH, dilipatlah sajadah yang belum lama tergelar itu.
Lupa pula dengan sholat rawatib sebelum maupun sesudah shalat wajib.
Satu lagi, semua di atas itu belum termasuk catatan: “Kalau tidak terlambat” atau “Asal nggak bangun kesiangan”.
Dengan shalat model begini, apa pantas ,mengaku ahli ibadah.
Padahal Rasulullah dan para sahabat senangtiasa mengisi malam-malamnya dengan derai tangis memohon ampunan kepada ALLAH.
Tak jarang kaki mereka bengkak karena terlalu lama berdiri dalam khusuknya.
Kalimat-kalimat pujian dan pinta tersusun indah seraya berharap ALLAH Yang Maha Mendengar mau mendengar keluh mereka.
Ketika adzan berkumandang, segera para sahabat meninggalkan semua aktivitas menuju sumber panggilan.
Kemudian waktu demi waktu mereka habiskan untuk bersimpuh di atas sajadah-sajadah penuh tetesan air mata.
Baca Al Qur’an sesempatnya, tanpa memahami arti dan maknanya, apalagi meresapi hikmah yang terkandung di dalamnya.
Ayat-ayat yang mengalir dari lidah ini tak sedikitpun membuat dada ini bergetar, padahal tanda-tanda orang beriman itu adalah ketika dibacakan ayat-ayat ALLAH maka tergetarlah hatinya.
Hanya satu dua lembar ayat yang sempat dibaca sehari, inipun tak rutin. Kadang lupa. Kadang sibuk, kadang malas. Yang begini mengaku beriman?
Tidak sedikit dari sahabat Rasulullah yang menahan nafas mereka untuk meredam getar yang menderu saat membaca ayat-ayat ALLAH.
Sesekali mereka terhenti, tak melanjutkan bacaannya ketika mencoba menggali makna terdalam dari sebaris kalimat ALLAH yang baru saja dibacanya.
Tak jarang mereka hiasi mushaf di tangan mereka dengan tetes tetes air mata.
Setiap tetes yang akan menjadi saksi di hadapan ALLAH bahwa mereka jatuh karena mulut-mulut indah yang melafazkan ayat-ayat ALLAH dengan pemahaman dan pengalaman tertinggi.
Bersedekah jarang, begitu juga infaq. Kalau pun ada, itu pun dipilih mata uang terkecil yang ada di dompet. Syukur-syukur kalau ada receh. Berbuat baik terhadap sesame jarang, paling-paling kalau sedang ada kegiatan bakti social, yah itung-itung ikut meramaikan.
Sudahlah jarang beramal, amal yang paling mudah pun masih pelit, senyum. Apa sih susahnya senyum?
Kalau seperti ini, apa pantas berharap kebaikan dan kasih ALLAH?
Rasulullah adalah manusia yang paling dirindu, senyum indahnya, tutur lembutnya, belai kasih dan perhatiannya, juga pembelaannya bukan hanya semata dimiliki Khadijah, Aisyah, dan istri-istri beliau yang lain. Juga bukan teruntuk Fatimah dan anak-anak Rasulullah lainnya.
Ia senangtiasa penuh kasih dan tulus terhadap semua yang dijumpainya, bahkan kepada musuhnya sekalipun. Ia mengajarkan para sahabat untuk berlomba beramal shaleh berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya.
Seringkali masalahnya Cuma sepele dan remeh temeh tapi permusuhan bisa berlangsung berhari-hari. Detik demi detik dada ini terasa jengkel. Setiap kali melihat keberhasilan orang dan berharap orang lain celaka atau mendapat bencana. Sudah sedemikian pekatkah hati yang tertanam dalam dada ini?
Adakah pantas hati yang seperti ini bertemu dengan ALLAH dan Rasulullah kelak? Wajah indah ALLAH dijanjikan akan diperlihatkan hanya kepada orang-orang yang beriman yang masuk surge ALLAH kelak. Tentu saja mereka yang berkesempatan hanyalah para pemilik wajah indah pula. tak inginkah kita menjadi bagian kelompok yang dicintai ALLAH itu? Lalu kenapa masih terus bermuka masam terhadap saudar sendiri?
Dengan adik tidak akur, kepada kakak tidak hormat. Terhadap orang tua kurang ajar, sering membantah membuat kesal hati mereka. Apalagi mendoakan mereka mungkin tidak pernah. Padahal mereka tak butuh apapun, selain sikap ramah penuh kasih sayang dari anak-anak yang telah mereka besarkan dengan segenap cinta. Cinta yang berhias peluh, air mata, juga darah.
Orang-orang seperti kita, apa pantas berharap surga ALLAH?
Dari ridho orang tua lah, ridha ALLAH diraih. Kaki mulia ibu lah yang disebut-sebut sebagai tempat kita merengkuh surga. Bukankah Rasulullah yang tak beribu memerintahkan untuk berbakti kepada ibu, bahkan tiga kali menyebut nama Ibu sebelum kemudian menyebut nama Ayah?
Bukankah seharusnya kita lebih bersyukur saat masih bisa mendapati tangam lembut untuk dikecup, kaki mulia tempat bersimpuh, dan wajah yang teduh yang teramat hangat dan menyejukkan? Karena begitu banyak orang-orang yang tak lagi medapat kesempatan itu. Ataukah harus menunggu ALLAH memanggil orang-orang terkasih itu. Hingga kita baru merasa benar-benar membutuhkan kehadiran mereka?
Jangan tunggu penyesalan.
Ya ALLAH, jangan Kau palingkan hati kami menjadi hatu yang keras, sehingga meneteskan air matapun susah. Merasa bersih, merasa suci, merasa tak bersalah, merasa tak membutuhkan orang lain. Padahal dibalik cermin masa depan yang kita banggakan terlukis baying hampa tanpa makna dan kebahagiaan semu penuh ragu.
ASTAGFIRULLAH…
YA ALLAH AMPUNILAH SEGENAP KHILAF KAMI..