Rabu, 01 Agustus 2012

Tawadzun.. Bisakah?



Tugas utama seorang mahasiswa adalah belajar. Hal ini perlu kita pahami bersama sebagai sebuah kewajiban yang harus dituntaskan dengan predikat memuaskan. Sebagai seorang muslim yang berdedikasi terhadap pendidikan tentu kita perlu menjadikan hal ini sebagai prioritas. Akan tetapi sebagai seorang pengusung dakwah, menjaga kinerja dakwah agar tetap optimal dan konsisten juga merupakan tuntutan tersendiri, maka perlu juga perencanaan yang baik untuk menyeimbangkan kedua hal ini.
Ada hal yang unik dari keluhan yang terjadi saat ini, adalah ketika nilai sedang menurun, maka kambing hitam yang paling mudah untuk di tunjuk adalah banyaknya aktifitas dakwah. Hal ini seakan-akan dakwah lah yang membuat nilai kita jatuh. Hey teman, open up your eyes, apakah betul dakwah yang membuat nilai turun? jika  percaya hal ini, maka kita tidak percaya janji Allah akan balasan akan amal yang kita lakukan. atau mungkin sedang mengalami disorientasi dakwah sehingga merasa tidak bermanfaat untuk menjalankan dakwah, justru dakwah membuat kita terpuruk.
Lalu terpikir kembali, apakah kita bisa menjamin tanpa aktifitas dakwah nilai Anda akan meningkat. Suatu ketika pernah ditantang hal ini ke salah satu teman saya, dan ternyata hasilnya ia hanya mengalami peningkatan IP sebesar 0,1 saja. Kenaikan yang tidak banyak dan tidak sebanding dengan meninggalkan dakwah.
Hal lain yang sering muncul berlawanan dengan kasus diatas, yakni aktifis dakwah yang sudah cukup frustasi dengan nilainya sehingga ia berpikir untuk tidak begitu mempedulikan akademiknya dan hanya focus pada aktifitas dakwah. Saya melihat kader dengan pandangan seperti ini masih sepakat dengan motto kader dakwah 1 dekade silam, yakni kader yang IP nya 2,00 adalah mujahid, dan kader yang IP nya 3,50 adalah pengkhianat. sebuah pandangan yang jauh dari relevan untuk di aplikasikan saat ini.
Pertama yang harus dilakukan adalah mengubah mindset kita. Life is about mindset. Jargon ini tampak sangat nyata dan benar adanya. Jika kita berpikir bahwa kita bisa berdakwah secara optimal dengan tetap meraih nilai memuaskan, maka kita akan menjadikan hal tersebut kenyataan. Ini langkah penting dalam memulai keseimbangan ini, pikirkan lalu tuliskan atau lukiskan keinginan kita ini dalam secarik kertas, lalu internalisasikan secara mendalam kepada hati dan pikiran kita. Hal ini dilakukan Ketua Umum Gamais ITB yang  mencoba hal ini pada semester ke-6 di ITB. Beliau meniatkan dalam hati bahwa tidak boleh ada lagi nilai B dalam traskripnya, membayangkan hanya nilai A di transkrip. Lalu Beliau tuliskan hal itu di buku catatan, dan dibuat gambar untuk di taruh di background desktop laptop. Selama satu semester mindset  beliau jaga, dan Alhamdulillah di akhir semester, hanya ada 1 nilai B dalam transkrip nilai semester 6 , IP 3,9 pun diraih. Subhanallah.. ^^
Teringat sebuah cerita, ada seorang aktvis dakwah. Beliau, aktif, sangat aktif sekali, cukup salut pada beliau. Tak heran, jika ia menjadi salah seorang lumayan penting dalam kampus. Keberadaannya pun menjadi “rebutan” bagi wajihah-wajihah dakwah.  Namun ia kemudian bermasalah dalam semesternya kali ini. Dan alangkah terkejutnya ketika ia berkata, ia ingin “berkonsentrasi kuliahnya”. Sebuah istilah lain untuk berkata, “ana ingin mundur”. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya pun sudah pernah terjadi seperti ini.

“Ana hanya ingin membahagiakan orang tua ukh!”
sadarkah, “apakah HANYA dengan IP kita bisa membahagiakan orang tua kita? Alangkah minim sekali standart itu?” terkadang kita begitu terlalu sempit membatasi semua standar kita. Atau jawaban-jawaban klise lain.

“Ana kekampus ini untuk kuliah ukh!”
“Lha iya sama, ana juga kuliah, bukan jualan tempe, atau sekedar main-main saja”. 

Ah.. seandainya IP kita yang bagus, pasti semakin mendekatkan kita ke Jannah-Nya… 

Lagi-lagi kasus ini terulang lagi, dan lagi-lagi keterbatasan dan keterpurukan dalam akademisnya, seringkali membuat kita menyalahkan aktivitas dakwah kita. Kita pun seolah menuding pada aktivitas dakwah yang seabrek, pada ini, pada itu, dan kita pun meminta pengurangan amanah, bahkan yang terburuk, kita mundur dari sebuah amal dakwah. Masya Allah…

Sambil berkelit kita berkata, “Ah, bukankah saya masih tetap berdakwah, meski dalam bentuk yang berbeda?”, tanpa mau sedikitpun kita tersadar, kita telah membuat sebuah kekuatan menjadi lemah karena salah satu tiangnya pergi. Tanpa sadar bahwa kita membuat tiang-tiang lain, kemudian menerima beban atap yang kita tinggalkan, padahal dalam sebuah kenyataan IP mereka lebih buruk daripada kita, teman..
  
Dakwah itu syamil, jangan dikotak-kotakkan dengan akademis, organisasi dan lain sebagainya
Ya Allah, jadikanlah kami malu kepada RasulMu, kepada Umar, sang khalifah tanpa istana karena untuk ummat-lah miliknya semuanya.

Jadikanlah kami malu kepada Mushab, selebritis Mekkah yang meninggalkan gemerlap dunianya untuk bergabung menjadi pemuda dakwah, yang di akhir Uhud, syahid dengan baju yang sangat sedikit.

Jadikanlah kami malu kepada Sumayyah, bukan sekedar IP atau harta mereka berkorban, namun dengan jiwa dan darah mereka persembahkan.

Jadikanlah kami malu kepada Al Khansa, bukan sekedar IP atau harta ia korbankan, namun keseluruhan putra-putra terbaiknya yang ia persembahkan.

Sungguh segenap alasan, bisa kita lontarkan saat ini, sebagaimana Ka’ab bin Malik yang tak ikut tabuk-pun tentulah akan mampu untuk menjawab mahkamah Rasulullah. Sebagaimana yang dilakukan 80 orang sebelumnya. Namun ia tahu, bahwa Allah Maha Tahu segalanya. Bahwa kita bisa jadi akan berjuta alasan di dunia, dan orang-orang pun dengan ikhlas akan menerima. Namun kita pun terkadang lupa, Akankah kita bisa menjawab hal yang sama di akhirat?

Sungguh, melemah dalam perjalanan, adalah lebih baik daripada kalah dan berbalik arah
dan sungguh kekuatan dalam perjalanan, akan lebih disukai. Karena mukmin yang kuat, lebih disukai daripada mukmin yang lemah.

Ya Allah, jangan biarkan kami berkata, “ini Hidupku, ini pilihanku”
Padahal dalam kehidupan kita,  kami berkata, “inna sholaati wanusuki wa mahyaya, wamamaati lillahi robbil ‘alamin” (sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup serta matiku untuk Allah tuhan semesta alam)

Ya Rabb, luaskanlah hati kami, luaskanlah cara pandang kami, agar ketika kami menunjuk menyalahkan dakwah, maka 4 jari ini tetap menunjuk kepada diri kami, berkata, “Bukankah kita sendiri yang belum bisa me-manajemen dengan baik semua ini?”

Ya Rabb, jangan jadikan “pilihan untuk mundur dari perjalanan”, ada dalam lembar kehidupan kami. Bukakanlah pikiran dan jiwa kami, jauhkanlah syaithan dari kelemahan jiwa dari amal-amal keputusan kami. Jadikan agar kami merubah cara belajar kami, bukan merubah amanah dakwah kami. Jadikanlah agar kami tetap berkarya meski dalam keterbatasan jiwa.

Ya Rabb, kokohkanlah kami di jalan-Mu, jalan para Nabi, jalan para Syuhada dan Dai-dai yang ikhlas di jalan-Mu.
Ya Rabb, istiqomahkanlah kami di jalan-Mu, hingga akhir hayat kami.

Aamiin…
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7)

Disadur dari buku “analisa instan problematika dakwah kampus”
Ridwansyah a. Yusuf

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu...